Kisah hidup Jopinus Ramli Saragih, atau yang lebih dikenal sebagai JR Saragih, bukan sekadar catatan perjuangan pribadi. Ini adalah bukti nyata bahwa pendidikan mampu mengubah nasib seseorang—dan pada akhirnya, mengubah nasib banyak orang.
Lahir di Medan pada 10 November 1968 dari keluarga sederhana, JR Saragih telah merasakan pahitnya hidup sejak kecil. Ayahnya meninggal saat ia masih bayi, membuatnya harus dibesarkan oleh sang nenek. Demi tetap bersekolah, ia rela bekerja sebagai kernet bus, penyemir sepatu, hingga buruh angkut pasir. Dari kerja keras itulah ia mulai menapaki jalan perubahan.
Kariernya mulai menanjak saat bergabung dengan TNI dan mengabdi di Corps Polisi Militer Angkatan Darat. Namun di balik seragam militernya, tersimpan semangat besar untuk mengabdi kepada masyarakat—terutama di bidang kesehatan dan pendidikan.
Berawal dari sebuah klinik kecil di Purwakarta, kontribusinya terus berkembang menjadi Rumah Sakit Efarina Etaham. Tak berhenti di situ, ia mendirikan Akademi Keperawatan Efarina, SMK Kesehatan, hingga Universitas Efarina di Kabupaten Simalungun.
Dedikasinya berlanjut ketika ia terjun ke dunia politik. Menjabat sebagai Bupati Simalungun selama dua periode (2010–2021), JR Saragih memfokuskan pembangunan pada peningkatan kualitas manusia melalui akses pendidikan.
Sebagai tokoh pendidikan, kiprah JR Saragih menjangkau masyarakat yang selama ini terpinggirkan dari sistem. Ia bukan hanya seorang pemimpin atau pendiri yayasan, melainkan simbol harapan—bahwa siapa pun bisa bangkit dan memberi manfaat bagi sesama.
Melalui Yayasan dan Universitas Efarina, ia telah menyekolahkan ribuan anak dari keluarga tidak mampu, sekaligus menanamkan nilai bahwa pendidikan adalah alat pembebas dari kemiskinan.
“Saya tahu rasanya tak punya biaya sekolah. Itulah mengapa saya tidak ingin ada anak yang gagal menggapai mimpi hanya karena miskin,” ujarnya suatu kali.
Kini, ribuan generasi muda di Sumatera Utara tumbuh dengan peluang yang lebih baik berkat sosok yang pernah memulai hidup sebagai penyemir sepatu.
JR Saragih telah menorehkan namanya sebagai Bapak Pendidikan Warga Kurang Mampu—sebuah gelar yang tidak diberikan, melainkan diperjuangkan dengan tulus. Dari Simalungun, inspirasi itu terus menyala untuk seluruh Indonesia. (HS/Red)