Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara kembali menghentikan penututan lebih kurang 80 perkara tindak pidana dengan pendekatan keadilan restoratif sejak pertengahan Juli 2022.
Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Idianto, SH MH melalui Kasi Penkum Yos A Tarigan SH MH menyampaikan 3 perkara penganiayaan dihentikan penuntutan setelah ekspose bersama Jampidum Kejagung RI Dr Fadil Zumhana.
Kegiatan ekspose diikuti langsung Kajati Sumut Idianto didampingi Aspidum Arip Zahrulyani SH MH, Kabag TU Rahmad Isnaini, Koordinator Bidang Pidum Gunawan Wisnu Murdiyanto, Kasi Terorisme dan Lintas Negara Yusnar Yusuf. Ikut juga secara zoom Kajari Karo Fajar Syahputra, SH MH, Kajari Pematangsiantar Jurist Precisely SH MH, Kacabjari Karo di Tiga Binanga Ferdinan Sebayang SH MH.
“Adapun tiga perkara yang dihentikan adalah dari Kejaksaan Negeri Karo dengan nama tersangka Benny Karmil Sitepu melakukan penganiayaan terhadap Martha Sri Katana Br Damanik yang tak lain adalah isterinya sendiri. Benny dipersangkakan dengan Pasal 44 ayat (1) UU RI. Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga”, kata Yos A Tarigan, Jumat (15/7/2022)
Kemudia perkara kedua, lanjut Yos berasal dari Cabjari Karo di Tiga Binanga atas nama tersangka Harjono Tarigan alias Jono melakukan penganiayaan terhadap Yudi Ginting (masih berkeluarga) dipersangkakan dengan Pasal 351 ayat (1) KUHPidana.
“Untuk perkara ketiga berasal dari Kejari Pematangsiantar atas nama tersangka Hendrik Susilo Simanjuntak melakukan pemukulan terhadap kakak kandungnya sendiri Rini Erita Simanjuntak, gara-gara harta warisan”, papar Yos.
Terhadap Hendrik Susilo Simanjuntak, kata Yos dipersangkakan dengan Pasal 351 ayat (1) KUHPidana diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda paling banyak Rp. 300,00 (tiga ratus rupiah).
“Alasan dilakukan penghentian penuntutan terhadap tiga perkara ini, karena antara pelaku dan korban masih ada hubungan keluarga, satu perkara dari Karo masih suami isteri. Setelah dilakukan mediasi, antara tersangka dan korban sudah berdamai, saling memaafkan. Korban telah memaafkan tersangka dan dilakukan perdamaian tanpa syarat disaksikan penyidik, tokoh masyarakat dan keluarga”, kata Yos A Tarigan.
Penghentian penuntutan dengan penerapan keadilan restoratif (restorative justice), kata mantan Kasi Pidsus Kejari Deliserdang ini, juga berpedoman pada Peraturan Jaksa Agung No 15 Tahun 2020, yaitu tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, jumlah kerugian di bawah dua setengah juta rupiah, ancaman hukuman di bawah 5 tahun penjara, adanya perdamaian antara tersangka dengan korban dan direspons positif oleh keluarga.
“Pelaksanaan RJ ini juga bertujuan untuk mengembalikan keadaan kepada keadaan semula dan tersangka menyesali perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi”, pungkasnya. (Red)